ADS

loading...

Friday, May 19, 2017

HUBUNGAN SIFAT KIMIA TANAH DENGAN BIOAVAILABILITAS LOGAM BERAT


Bioavailabilitas Logam Berat dalam Tanah
Pencemaran logam berat pada tanah dan masuknya logam tersebut ke dalam jaringan organisme sangat dipengaruhi oleh tingkat bioavailabilitasnya. Menurut Widaningrum et al. (2007) Bioavailabilitas merupakan ketersediaan sejumlah logam yang dapat diserap oleh mahkluk hidup dan dapat menyebabkan respon toksik. Pengertian menurut Jhon & Leventhal (1995), tentang bioavailabilitas yaitu sebagai fraksi dari total kandungan logam berat yang ketersediaannya mudah diserap oleh biota, sehingga total kandungan logam berat tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat bioavailabilitas dari suatu logam berat.

Menurut Verloo (1993), keseluruhan logam berat yang ada di dalam tanah dapat dipilahkan menjadi berbagai fraksi atau bentuk, yaitu:
  1. Fraksi terlarut (dissolved), yaitu fraksi logam berat yang berada di dalam larutan tanah.
  2. Fraksi tertukarkan (exchangeable), yaitu fraksi logam berat yang terikat pada permukaan jerapan (adsorption sites) pada koloid tanah dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion.
  3. Fraksi terikat dengan senyawa organik, yaitu fraksi logam berat yang terikat dengan senyawa organik (humus) yang tidak terlarutkan, namun mudah lepas jika tanah dalam keadaan teroksidasi.
  4. Fraksi terjerat (occluded) oleh Fe-Mn, fraksi logam berat yang diadsorbsi atau dilapisi oleh Fe-Mn oksida, dan mudah lepas jika direduksi oleh asam pada keadaan tertentu.
  5. Fraksi logam berat yang dipresipitasi sebagai senyawa-senyawa  karbonat, fosfat, dan sulfida dalam tanah.
  6. Fraksi cristalline, yaitu fraksi logam berat yang terikat secara kuat di dalam mineral silikat atau mineral primer.
Fraksi terlarut (dissolved) merupakan fraksi logam berat yang paling mudah diserap oleh organisme (bioavailable) karena tidak ada senyawa di dalam tanah yang mengikat. Fraksi logam berat yang terikat pada permukaan koloid, senyawa organik, senyawa karbonat, sulfida, fosfat, dan oksida Fe-Mn merupakan fraksi yang berpotensi bioavailable pada keadaan tertentu tergantung kondisi sifat tanah dan fraksi logam berat yang terikat pada mineral silikat merupakan fraksi logam berat yang terikat sangat kuat sehingga logam berat yang termasuk fraksi ini sukar diserap oleh organisme (resistant) (Yu, et al. 2010).
Pengaruh Sifat Kimia Tanah pada Bioavailabilitas Logam Berat
Menurut Verloo (1993) ketersediaan logam berat bagi organisme (bioavailabilitas) dalam tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor sifat tanah salah satunya seperti, pH, kapasitas tukar kation (KTK) dan kadar bahan organik.
  1.      Keasaman Tanah (pH)
Tanah yang dalam kondisi masam akan membuat logam berat larut dan mobilitasnya dalam tanah akan semakin bebas sehingga bersifat bioavailable. Kenaikan nilai pH tanah akan membuat fraksi kation-kation logam berat berubah menjadi senyawa fraksi hidroksida atau oksida dan mengendap di dalam tanah. Hal ini terjadi karena naiknya pH tanah akan mengubah muatan terubahkan dari koloid-koloid tanah seperti liat dan humus menjadi bermuatan negatif sehingga katio-kation logam berat yang bermuatan positif akan tertarik dan terikat (Lindsay, 1979).
  2.      Kapasitas Tukar Kation Tanah
Kapasitas tukar kation (KTK) atau cation exchangeable capacity (CEC) merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangeable) pada permukaan koloid tanah, baik itu koloid liat maupun koloid humus yang bermuatan negatif. Suatu hasil pengukuran KTK adalah milliekuivalen kation dalam 100 gram tanah atau me kation pada 100 g tanah (Madjid, 2007).
Menurut Alloway (1995) kapasitas tukar kation tanah tergantung pada jumlah muatan negatif dari koloid-koloid tanah. Muatan negatif dari koloid-koloid tanah akan mengikat kation-kation dalam tanah termasuk kation-kation logam berat. Muatan negatif pada permuakaan koloid akan diimbangi kation dengan jumlah yang sama untuk menjaga keelektronetralan. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Wild (1993), logam berat dalam tanah umumnya berbentuk kation (ion positif) dan akan diikat oleh anion-anion (ion negatif) dari koloid tanah.
Menurut Tan (1991), setiap kation-kation dalam tanah mempunyai kemampuan yang berbeda untuk ditukarkan dengan kation yang dijerap kompleks penjerap tanah. Jumlah kation yang dijerap sering tidak setara dengan kation yang dipertukarkan. Ion-ion divalen diikat lebih kuat daripada ion-ion monovalen, sehingga akan lebih sulit untuk dipertukarkan. Pernyataan yang sama juga dinyatakan oleh Alloway (1995) yang menyebutkan beberapa kation logam berat mempunyai selektifitas terhadap kompleks penjerap tanah. Hal ini ditentukan oleh valensi dan tingkat hidrasi. Jika semakin tinggi valensi maka kekuatan untuk menggantikan atau mempertukarkan semakin tinggi. Sebaliknya jika tingkat hidrasi kation semakin tinggi maka kekuatan kation untuk menggantikan atau mempertukarkan kation lainnya semakin rendah.
  3.      Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah ada yang sukar mengalami perombakan dan ada yang mudah. Bahan organik yang sukar mengalami perombakan dan merupakan salah satu pengatur unsur hara dan air tanah adalah humus. Humus berperan sebagai kompleks jerapan (adsorption), pertukaran (exchange), dan penyanggaan (buffer) hara, air dan kation-kation logam berat yang ada dalam tanah. Unsur hara di tanah yang terdapat dalam bentuk ion dijerap oleh permukaan humus, sehingga unsur hara tersebut dapat dipertahankan di dalam tanah. Tanaman yang membutuhkan unsur hara dapat menyerapnya melalui mekanisme pertukaran ion (Syekhfani, 2010).
Humus dapat berperan sebagai kompleks jerapan kation-kation karena humus mempunyai muatan negatif yang berasal dari gugus-gugus fungsional humus seperti gugus karboksil (-COOH), fenolat (-OH), maupun (-OH) alkoholat. Gugus tersebut dapat menjadi sumber muatan negatif bergantung pada pH tanah (pH dependent charge). Pada saat tanah dalam suasana basa (pH tinggi), gugus-gugus aktif humus akan terdisosiasi menjadi bermuatan negatif (COO- dan O-) sehingga banyak kation-kation logam berat yang terjerap oleh muatan negatif humus. Sebaliknya apabila tanah dalam suasana asam (pH rendah) gugus-gugus aktif humus tidak akan terdisosiasi menjadi bermuatan negatif sehingga kation-kation logam berat dalam tanah tidak ada yang menjerap dan dapat bergerak bebas di dalam tanah termasuk dapat diserap oleh organisme (Hardjowigeno, 2007).




 DAFTAR PUSTAKA

Alloway, B.J. 1995. Heavy Metal in Soils. New York: Blackie Academic and Professional-Chapman and Hall.
Hardjowigeno. S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Pusaka Utama
John, D. A., Leventhal, J.S. 1995. Bioavailability of Metals. In Edward A. Du Bray (Ed.), Preliminary Compilation of descriptive Geoenvironmental Mineral Deposit Models. U.S. department of Interior, U.S. Geological Denver, Colorado.
Lindsay, W.L. 1979. Chemical Equilibria in Soils. Jhon Willey & Sons. New york
Madjid, A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian Unsri. Tersedia pada http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 17 April 2016.
Syekhfani. 2010. Hubungan hara tanah, air dan tanaman. Dasar Dasar Pengelolaan Tanah Subur Berkelanjutan, 3-4. Putra Media Nusantara.
Tan, K. H. 1991. Dasar-dasar Kimia tanah. Universitas Gajah Mada Press: Yogyakarta
Verloo, M. 1993. Chemical aspect of soil pollution. ITC-gen publications series No.4, 17-46.
Widaningrum, Miskiyah, & Suismono. 2007. Bahaya Kontaminasi Logam Berat Dalam Sayuran Dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 3, 16 – 27.
Yu, X., Yana, Y., and Wang, W. 2010. The Distribution and Speciation of Trace Metal in Surface Sediment from the Pearl River Estuary and the Daya Bay. Southern China, Marine Pollution Bulletin, 60 : 1364-1371

DOWNLOAD VERSI PDF: KLIK DISINI

No comments:

Post a Comment