Bioavailabilitas Logam Berat dalam
Tanah
Pencemaran logam berat pada tanah dan masuknya logam tersebut
ke dalam jaringan organisme sangat dipengaruhi oleh tingkat
bioavailabilitasnya. Menurut Widaningrum et
al. (2007) Bioavailabilitas merupakan ketersediaan sejumlah logam yang
dapat diserap oleh mahkluk hidup dan dapat menyebabkan respon toksik. Pengertian
menurut Jhon & Leventhal (1995), tentang bioavailabilitas yaitu sebagai
fraksi dari total kandungan logam berat yang ketersediaannya mudah diserap oleh
biota, sehingga total kandungan logam berat tidak selalu berkorelasi positif
dengan tingkat bioavailabilitas dari suatu logam berat.
Menurut Verloo (1993), keseluruhan
logam berat yang ada di dalam tanah dapat dipilahkan menjadi berbagai fraksi
atau bentuk, yaitu:
- Fraksi terlarut (dissolved), yaitu fraksi logam
berat yang berada di dalam larutan tanah.
- Fraksi tertukarkan (exchangeable), yaitu fraksi logam
berat yang terikat pada permukaan jerapan (adsorption sites) pada
koloid tanah dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion.
- Fraksi terikat dengan senyawa
organik, yaitu fraksi logam berat yang terikat dengan senyawa organik
(humus) yang tidak terlarutkan, namun mudah lepas jika tanah dalam keadaan
teroksidasi.
- Fraksi terjerat (occluded)
oleh Fe-Mn, fraksi logam berat yang diadsorbsi atau dilapisi oleh
Fe-Mn oksida, dan mudah lepas jika direduksi oleh asam pada keadaan
tertentu.
- Fraksi logam berat yang
dipresipitasi sebagai senyawa-senyawa
karbonat, fosfat, dan sulfida dalam tanah.
- Fraksi cristalline, yaitu fraksi logam berat yang terikat secara kuat
di dalam mineral silikat atau mineral primer.
Fraksi terlarut (dissolved) merupakan fraksi logam berat
yang paling mudah diserap oleh organisme (bioavailable)
karena tidak ada senyawa di dalam tanah yang mengikat. Fraksi logam berat yang
terikat pada permukaan koloid, senyawa organik, senyawa karbonat, sulfida,
fosfat, dan oksida Fe-Mn merupakan fraksi yang berpotensi bioavailable pada keadaan tertentu tergantung kondisi sifat tanah
dan fraksi logam berat yang terikat pada mineral silikat merupakan fraksi logam
berat yang terikat sangat kuat sehingga logam berat yang termasuk fraksi ini
sukar diserap oleh organisme (resistant)
(Yu, et al. 2010).
Pengaruh Sifat Kimia Tanah pada Bioavailabilitas Logam Berat
Menurut Verloo (1993) ketersediaan logam
berat bagi organisme (bioavailabilitas) dalam tanah dipengaruhi oleh berbagai
faktor sifat tanah salah satunya seperti, pH, kapasitas tukar kation (KTK) dan kadar
bahan organik.
1. Keasaman Tanah (pH)
Tanah yang dalam kondisi masam akan
membuat logam berat larut dan mobilitasnya dalam tanah akan semakin bebas
sehingga bersifat bioavailable.
Kenaikan nilai pH tanah akan membuat fraksi kation-kation logam berat berubah
menjadi senyawa fraksi hidroksida atau oksida dan mengendap di dalam tanah. Hal
ini terjadi karena naiknya pH tanah akan mengubah muatan terubahkan dari
koloid-koloid tanah seperti liat dan humus menjadi bermuatan negatif sehingga katio-kation
logam berat yang bermuatan positif akan tertarik dan terikat (Lindsay, 1979).
2. Kapasitas Tukar Kation Tanah
Kapasitas tukar kation (KTK) atau cation
exchangeable capacity (CEC) merupakan jumlah total kation yang dapat
dipertukarkan (cation exchangeable)
pada permukaan koloid tanah, baik itu koloid liat maupun koloid humus yang bermuatan
negatif. Suatu hasil pengukuran KTK adalah milliekuivalen kation dalam 100 gram
tanah atau me kation pada 100 g tanah (Madjid, 2007).
Menurut Alloway (1995) kapasitas tukar kation tanah tergantung pada
jumlah muatan negatif dari koloid-koloid tanah. Muatan negatif dari
koloid-koloid tanah akan mengikat kation-kation dalam tanah termasuk
kation-kation logam berat. Muatan negatif pada permuakaan koloid akan diimbangi
kation dengan jumlah yang sama untuk menjaga keelektronetralan. Hal yang sama
juga dijelaskan oleh Wild (1993), logam berat dalam tanah umumnya berbentuk
kation (ion positif) dan akan diikat oleh anion-anion (ion negatif) dari koloid
tanah.
Menurut Tan (1991), setiap kation-kation dalam tanah mempunyai kemampuan
yang berbeda untuk ditukarkan dengan kation yang dijerap kompleks penjerap
tanah. Jumlah kation yang dijerap sering tidak setara dengan kation yang
dipertukarkan. Ion-ion divalen diikat lebih kuat daripada ion-ion monovalen,
sehingga akan lebih sulit untuk dipertukarkan. Pernyataan yang sama juga
dinyatakan oleh Alloway (1995) yang menyebutkan beberapa kation logam berat
mempunyai selektifitas terhadap kompleks penjerap tanah. Hal ini ditentukan
oleh valensi dan tingkat hidrasi. Jika semakin tinggi valensi maka kekuatan
untuk menggantikan atau mempertukarkan semakin tinggi. Sebaliknya jika tingkat
hidrasi kation semakin tinggi maka kekuatan kation untuk menggantikan atau
mempertukarkan kation lainnya semakin rendah.
3.
Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah ada yang sukar mengalami
perombakan dan ada yang mudah. Bahan organik yang sukar mengalami perombakan
dan merupakan salah satu pengatur unsur hara dan air tanah adalah humus. Humus
berperan sebagai kompleks jerapan (adsorption),
pertukaran (exchange), dan
penyanggaan (buffer) hara, air dan
kation-kation logam berat yang ada dalam tanah. Unsur hara di tanah yang
terdapat dalam bentuk ion dijerap oleh permukaan humus, sehingga unsur hara
tersebut dapat dipertahankan di dalam tanah. Tanaman yang membutuhkan unsur
hara dapat menyerapnya melalui mekanisme pertukaran ion (Syekhfani, 2010).
Humus dapat berperan sebagai kompleks jerapan kation-kation karena humus
mempunyai muatan negatif yang berasal dari gugus-gugus fungsional humus seperti
gugus karboksil (-COOH), fenolat (-OH), maupun (-OH) alkoholat. Gugus tersebut
dapat menjadi sumber muatan negatif bergantung pada pH tanah (pH dependent charge). Pada saat tanah
dalam suasana basa (pH tinggi), gugus-gugus aktif humus akan terdisosiasi
menjadi bermuatan negatif (COO- dan O-) sehingga banyak
kation-kation logam berat yang terjerap oleh muatan negatif humus. Sebaliknya
apabila tanah dalam suasana asam (pH rendah) gugus-gugus aktif humus tidak akan
terdisosiasi menjadi bermuatan negatif sehingga kation-kation logam berat dalam
tanah tidak ada yang menjerap dan dapat bergerak bebas di dalam tanah termasuk
dapat diserap oleh organisme (Hardjowigeno, 2007).
Alloway,
B.J. 1995. Heavy Metal in Soils. New
York: Blackie Academic and Professional-Chapman and Hall.
Hardjowigeno. S.
2007. Ilmu
Tanah. Jakarta: Pusaka Utama
John, D. A., Leventhal, J.S. 1995. Bioavailability of Metals. In Edward A.
Du Bray (Ed.), Preliminary Compilation of descriptive Geoenvironmental Mineral
Deposit Models. U.S. department of Interior, U.S. Geological Denver, Colorado.
Lindsay, W.L. 1979. Chemical Equilibria in Soils.
Jhon Willey & Sons. New york
Madjid, A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian
Unsri. Tersedia pada http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 17 April 2016.
Syekhfani. 2010. Hubungan hara tanah, air dan tanaman. Dasar Dasar Pengelolaan
Tanah Subur
Berkelanjutan, 3-4. Putra
Media Nusantara.
Tan, K. H. 1991. Dasar-dasar Kimia tanah. Universitas
Gajah Mada Press: Yogyakarta
Verloo,
M. 1993. Chemical aspect of soil pollution. ITC-gen
publications series No.4, 17-46.
Widaningrum, Miskiyah, &
Suismono. 2007. Bahaya Kontaminasi Logam
Berat Dalam Sayuran Dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 3, 16 – 27.
Yu, X., Yana, Y., and Wang, W. 2010. The Distribution and
Speciation of Trace Metal in Surface Sediment from the Pearl River Estuary and
the Daya Bay. Southern China, Marine
Pollution Bulletin, 60 : 1364-1371
No comments:
Post a Comment