ADS

loading...

Sunday, May 7, 2017

PARAMETER KUALITAS AIR

(Dissolved Oxygen = DO; Biological Oxygen Demand = BOD; dan Chemical Oxygen Demand = COD)

Pencemaran air adalah penambahan unsur atau organisme ke dalam air, sehingga pemanfaatannya dapat terganggu. Pencemaran air dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial, karena adanya gangguan oleh adanya zat-zat beracun atau muatan bahan organik yang berlebih. Keadaan ini akan menyebabkan oksigen terlarut dalam air pada kondisi yang kritis, atau merusak kadar kimia air. Rusaknya kadar kimia air tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi dari air. Besarnya beban pencemaran yang ditampung oleh suatu perairan, dapat diperhitungkan berdasarkan jumlah polutan yang berasal dari berbagai sumber aktifitas air buangan dari proses-proses industri dan buangan domestik yang berasal dari penduduk. Untuk mengetahui kualitas air dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kimia, sepeti oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO), kebutuhan oksigen biologis (Biological Oxygen Demand = BOD dan kebutuhan oksigen kimia (Chemical Oxygen Demand = COD).

Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen = DO)
Dissolved oxygen atau yang sering disebut dengan oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen yang terlarut dalam air yang berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuhan air. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses   metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Pada keadaan standar, kebanyakan oksigen melarut ke dalam air dari atmosfer; hanya sedikit DO bersih yang dihasilkan oleh fotosintesis tanaman akuatik. Walaupun tanaman air menghasilkan oksigen selama sehari fotosintesis, mereka juga menggunakan oksigen pada malam hari  sebagai sumber energy. Ketika mereka mati dan meluruh, material tanaman mati tersebut menyediakan sumber energy bagi mikroba, yang mengkonsumsi oksigen tambahan. Perubahan netto dalam oksigen terlarut sangatlah kecil selama siklus hidup tanaman akuatik.
Oksigen terlarut digunakan dalam degradasi material organic dalam air. Karena konsentrasi oksigen terlarut tidak pernah sangat besar, proses oxygen-depleting dapat mereduksi oksigen terlarut dengan cepat dalam ketakadaan mekanisme aerasi yang efisien. Ikan memerlukan sedikitnya 5-6 ppm oksigen terlarut untuk tumbuh.  Mereka berhenti makan jika tingkat DO turun drastis  di sekitar 3-4 ppm, dan mati jika DO jatuh menjadi 1 ppm. Banyak ikan yang mati tidaklah disebabkan oleh racun pencemar secara langsung, tetapi malahan oleh defisiensi oksigen yang disebabkan oleh proses biodegradasi pencemar organik. Adapun standar oksigen terlarut untuk beberapa kehidupan akuatik standar antara lain  (1) 7,0 ppm untuk periode bertelur di biota air dingin; (2) 6,0 ppm untuk biota air dingin kelas satu; (3) 5,0 ppm untuk biota air hangat kelas satu. Data mengenai hubungan oksigen terlarut terhadap kualitas air disajikan dalam table 1 di bawah ini.


Tabel 1.  Kualitas Air dan DO



Kualitas Air
Oksigen Terlarut (mg/L)
Baik
Di atas 8,0
Terpolusi Ringan
6,5-8,0
Terpolusi Moderat
4,5-6,5
Terpolusi Berat
4,0-4,5
Terpolusi Akut
Di bawah 4,0

Sumber. Weiner(2007)

Analisis oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) dapat dilakukan melalui dua metode standar, yaitu metode Titrasi WINKLER dan metode elektrokimia. Metode titrasi WINKLER secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH - KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji). 
Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter. Prinsip kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam dalarn larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb). Secara keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semipermeable terhadap oksigen. 
Aliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada katoda. Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap konsentrasi oksigen terlarut. Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi berdasarkan metoda WINKLER lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan tiosulfat dan pembuatan larutan standar kaliumbikromat yang tepat. Dengan mengikuti prosedur penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat. Sedangkan penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan salinitas sampel yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter. Disamping itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat menentukan akurasinya hasil penentuan.  Berdasarkan pengalaman di lapangan, penentuan oksigen terlarut dengan cara titrasi lebih dianjurkan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Alat DO meter masih dianjurkan jika sifat penentuannya hanya bersifat kisaran.
Konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air tergantung oleh beberapa faktor yaitu (1) tingkat kejenuhan air itu sendiri, kejenuhan air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di dalam air oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air; (2) suhu air; (3) kehadiran tanaman fotosintesis; (4) tingkat penetrasi cahaya yang tergantung pada kedalaman dan kekeruhan air; (5) tingkat kederasan aliran air; (6) jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air, seperti sampah, ganggang mati, atau limbah industry; dan (7) tekanan udara.
Kebutuhan Oksigen Biologis (Biological Oxygen Demand = BOD)
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian-pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan (sebagai parameter).
Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organic yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pada suhu 20°C (Sawyer & Mc Carty, 1978).
Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (20oC) yang sering disebut dengan DO5. Selisih DOi dan DO5 (DOi - DO5) merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L). Pengukuran oksigen dapat dilakukan secara analitik dengan cara titrasi (metode Winkler, iodometri) atau dengan menggunakan alat yang disebut DO meter yang dilengkapi dengan probe khusus. Jadi pada prinsipnya dalam kondisi gelap, agar tidak terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama lima hari, diharapkan hanya terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganime, sehingga yang terjadi hanyalah penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa ditera sebagai DO5. Yang penting diperhatikan dalam hal iniadalah mengupayakan agar masih ada oksigen tersisa pada pengamatan hari kelima sehingga DO5tidak nol. Bila DO5 nol maka nilai BOD tidak dapat ditentukan.
Pada prakteknya, pengukuran BOD memerlukan kecermatan tertentu mengingat kondisi sampel atau perairan yang sangat bervariasi, sehingga kemungkinan diperlukan penetralan pH, pengenceran, aerasi, atau penambahan populasi bakteri. Pengenceran dan/atau aerasi diperlukan agar masih cukup tersisa oksigen pada hari kelima. Karena melibatkan mikroorganisme (bakteri) sebagai pengurai bahanorganik, maka analisis BOD memang cukup memerlukan waktu. Oksidasi biokimia adalah proses yang lambat. Dalam waktu 20 hari, oksidasi bahan organik karbon mencapai 95 – 99 %, dan dalam waktu 5 hari sekitar 60 – 70 % bahan organik telah terdekomposisi (Metcalf & Eddy, 1991). Lima hari inkubasiadalah kesepakatan umum dalam penentuan BOD. Bisa saja BOD ditentukan dengan menggunakan waktu inkubasi yang berbeda, asalkan dengan menyebut kan lama waktu tersebut dalam nilai yang dilaporkan (misal BOD7, BOD10) agar tidak salah dalam interpretasi atau memperbandingkan. Temperatur 20oC dalam inkubasi juga merupakan temperatur standard. Temperatur 20oC adalah nilai rata-rata temperatur sungai beraliran lambat di daerah beriklim sedang (Metcalf & Eddy, 1991) dimana teori BOD ini berasal. Untuk daerah tropik seperti Indonesia, bisa jadi temperatur inkubasi ini tidaklah tepat. Temperatur perairan tropik umumnya berkisar antara 25 – 30oC, dengan temperatur inkubasi yang relatif lebih rendah bisa jadi aktivitas bakteri pengurai juga lebih rendah dan tidak optimal sebagaimana yang diharapkan. Ini adalah salah satu kelemahan lain BOD selain waktu penentuan yang lama tersebut.
Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand = COD)
COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Boyd, 1990; Metcalf & Eddy, 1991), sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada.
Metode pengukuran COD sedikit lebih kompleks, karena menggunakan peralatan khusus reflux, penggunaan asam pekat, pemanasan, dan titrasi (APHA, 1989, Umaly dan Cuvin, 1988). Peralatanreflux (Gambar 1) diperlukan untuk menghindari berkurangnya air sampel karena pemanasan. Padaprinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui) yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya, kelebihan kalium bikromatditera dengan cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan. Kelemahannya, senyawa kompleks anorganik yang ada di perairan yang dapat teroksidasi juga ikut dalam reaksi (De Santo, 1978), sehingga dalam kasus-kasus tertentu nilai COD mungkin sedikit ‘over estimate’ untuk gambarankandungan bahan organik.
Dampak-dampak yang Ditimbulkan
Pergeseran kadar DO, disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.
1.      Limbah pemukiman/ domestik yang berupa sampah organic maupun anorganik serta deterjen.
2.      Limbah pertanian yang berupa pupuk dan pestisida berlebih
3.      Limbah industri yang berupa limbah B3
Limbah pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik dan sampah anorganik serta deterjen. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri. Contohnya sisa-sisa sayuran, buah-buahan, dan daun-daunan. Sedangkan sampah anorganik seperti kertas, plastik, gelas atau kaca, kain, kayu-kayuan, logam, karet, dan kulit. Sampah-sampah ini tidak dapat diuraikan oleh bakteri (non biodegrabel). Sampah organik yang dibuang ke sungai menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut/ dissolved Oxygen, karena sebagian besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Apabila sampah anorganik yang dibuang ke sungai, cahaya matahari dapat terhalang dan menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan air dan alga, yang menghasilkan oksigen. Hal ini juga dapat mengurangi kadar oksigen terlarut. Penggunaan deterjen secara besar-besaran juga meningkatkan senyawa fosfat pada air sungai atau danau. Fosfat ini merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan ganggang dan eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan permukaan air danau atau sungai tertutup sehingga menghalangi masuknya cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis. Jika tumbuhan air ini mati, akan terjadi proses pembusukan yang menghabiskan persediaan oksigen dan pengendapan bahan-bahan yang menyebabkan pendangkalan.
Pupuk dan pestisida biasa digunakan para petani untuk merawat tanamannya. Namun pemakaian pupuk dan pestisida yang berlebihan dapat mencemari air. Limbah pupuk mengandung fosfat yang dapat merangsang pertumbuhan gulma air seperti ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan gulma air yang tidak terkendali ini menimbulkan dampak seperti yang diakibatkan pencemaran oleh deterjen.
Limbah industri sangat potensial sebagai penyebab terjadinya pencemaran air. Pada umumnya limbah industri mengandung limbah B3, yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18 tahun 99 pasal 1, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya. Karakteristik limbah B3 adalah korosif/ menyebabkan karat, mudah terbakar dan meledak, bersifat toksik/ beracun dan menyebabkan infeksi/ penyakit. Limbah industri yang berbahaya antara lain yang mengandung logam dan cairan asam. Misalnya limbah yang dihasilkan industri pelapisan logam, yang mengandung tembaga dan nikel serta cairan asam sianida, asam borat, asam kromat, asam nitrat dan asam fosfat. Limbah ini bersifat korosif, dapat mematikan tumbuhan dan hewan air. Jasad tumbuhan dan hewan ini tentu saja akan diuraikan oleh mikroorganisme air itu sendiri. Konsekwensinya, kadar oksigen terlarut berkurang.
Limbah pertambangan seperti batubara biasanya tercemar asam sulfat dan senyawa besi, yang dapat mengalir ke luar daerah pertambangan. Air yang mengandung kedua senyawa ini dapat berubah menjadi asam. Bila air yang bersifat asam ini melewati daerah batuan karang/ kapur akan melarutkan senyawa Ca dan Mg dari batuan tersebut. Selanjutnya senyawa Ca dan Mg yang larut terbawa air akan memberi efek terjadinya Air sadah, yang tidak bisa digunakan untuk mencuci karena sabun tidak bisa berbuih. Bila dipaksakan akan memboroskan sabun, karena sabun tidak akan berbuih sebelum semua ion Ca dan Mg mengendap. Limbah pertambangan yang bersifat asam bisa menyebabkan korosi dan melarutkan logam-logam sehingga air yang dicemari bersifat racun dan dapat memusnahkan kehidupan akuatik. Hal ini tentu saja berdampak pada pengurangan kadar oksigen terlarut.
Penanggulangan
Limbah atau bahan buangan yang dihasilkan dari semua aktifitas kehidupan manusia, baik dari setiap rumah tangga, kegiatan pertanian, industri serta pertambangan tidak bisa kita hindari. Namun kita masih bisa mencegah atau paling tidak mengurangi dampak dari limbah tersebut, agar tidak merusak lingkungan yang pada akhirnya juga akan merugikan manusia.
Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi segala akibat yang ditimbulkan oleh limbah berbahaya; setiap rumah tangga sebaiknya menggunakan deterjen secukupnya dan memilah sampah organik dari sampah anorganik. Sampah organik bisa dijadikan kompos, sedangkan sampah anorganik bisa didaur ulang. Pemerintah bekerjasama dengan World Bank, pada saat ini tengah mempersiapkan pemberian insentif berupa subsidi bagi masyarakat yang melakukan pengomposan sampah kota. Beberapa manfaat pengomposan sampah antara lain :
·         Mengurangi sampah di sumbernya
·         Mengurangi beban volume di TPA
·         Mengurangi biaya pengelolaan
·         Menciptakan peluang kerja
·         Memperbaiki kondisi lingkungan
·         Mengurangi emisi gas rumah kaca
·         Penggunaan kompos mendukung; Produk organic, Green Consumerism dan more sustain land use.
Penggunaan pupuk dan pestisida secukupnya atau memilih pupuk dan pestisida yang mengandung bahan-bahan yang lebih cepat terurai, yang tidak terakumulasi pada rantai makanan, juga dapat megurangi dampak pencemaran air.
Setiap pabrik / kegiatan industri sebaiknya memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), untuk mengolah limbah yang dihasilkannya sebelum dibuang ke lingkungan sekitar. Dengan demikian diharapkan dapat meminimalisasi limbah yang dihasilkan atau mengubahnya menjadi limbah yang lebih ramah lingkungan. Mengurangi penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam kegiatan pertambangan atau menggantinya dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan. Atau diharuskan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah pertambangan, sehingga limbah bisa diolah terlebih dahulu menjadi limbah yang lebih ramah lingkungan, sebelum dibuang keluar daerah pertambangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2010. Penyebab COD dan BOD. Diakses tanggal 24 Maret 2010 dengan alamathttp://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://azamul.files.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama. 482 p.
De Santo, R.S. 1978. Concepts Of Applied Ecology. Heidelberg Science Library. Springer – Verlag, New York. 310 p.
Mays, L.W.(Editor in Chief) 1996. Water Resources Handbook. McGraw-Hill. New York. p: 8.27-8.28.
Metcalf & Eddy, Inc. 1991. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, Reuse3rd Ed. (Revised by: G. Tchobanoglous and F.L. Burton). McGraw-Hill, Inc. New York, Singapore. 1334 p.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. Dalam : Foraminifera  Sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang (Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O - LIPI hal 42 - 46
Sawyer, C.N and P.L., Mc Carty, 1978. Chemistry for Environmental Engineering. 3rd ed. Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.: 405 - 486 pp.
Umaly, R.C. dan Ma L.A. Cuvin. 1988. Limnology: Laboratory and field guide, Physico-chemical factors, Biological factors. National Book Store, Inc. Publishers. Metro Manila. 322 p.

Weiner, Eugene R. 2007. Application of Environmental Aquatic Chemistry. London: Taylor & Francis Group


Versi PDF: Klik Disini

No comments:

Post a Comment