PepsiCo
memiliki peran yang sangat penting untuk merubah Indofood. Selaku Mitra Bisnis
Indofood dan produsen tunggal. PepsiCo di Indonesia, PepsiCo berposisi khusus
untuk memastikan Indofood menjadi perusahaan minyak sawit yang bertanggung
jawab. PepsiCo harus meminta Indofood untuk segera melakukan investigasi dan
memperbaiki pelanggaran hak-hak buruh yang diuraikan dalam laporan ini,
menyelesaikan kasus-kasus Minyak Sawit yang Bermasalah lainnya yang masih belum
terselesaikan, serta menerapkan dan melaksanakan kebijakan minyak sawit bertanggung
jawab yang mewajibkan produksi dan pengadaan minyak sawit yang sepenuhnya dapat
terlacak, dikembangkan secara legal dan terverifikasi sebagai tidak berkaitan
dengan pelanggaran hak buruh, deforestasi, ekspansi pada lahan gambut yang kaya
karbon pada kedalaman apapun, juga pelanggaran HAM. Membiarkan Indofood tanpa perubahan
berarti mempertaruhkan reputasi PepsiCo dan merupakan bentuk kegagalan PepsiCo dalam
memenuhi prinsip-prinsip kebijakan minyak sawitnya yang baru. Pada tingkat yang
lebih umum, PepsiCo harus menerapkan tenggat waktu yang ambisius untuk
memastikan pihak ketiganya terverifikasi mematuhi kebijakannya untuk semua
minyak sawit yang digunakan dalam semua produk. dan mereknya, termasuk
barang-barang yang diproduksi oleh Indofood dan mitra usaha patungan lainnya.
Saat ini raksasa makanan ringan tersebut hanya memiliki niat untuk mendapatkan
minyak sawit yang 100% bersertifikat RSPO pada tahun 2020.
ADS
loading...
Showing posts with label Alih Fungsi Lahan. Show all posts
Showing posts with label Alih Fungsi Lahan. Show all posts
Sunday, April 7, 2019
Friday, April 5, 2019
APA YANG HARUS DILAKUKAN ROUNDTABLE ON SUSTAINABLE PALM OIL
Perusahaan perkebunan kelapa sawit Indofood merupakan anggota
dari sistem sertifikasi industri Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Sebagai anggota RSPO, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (Lonsum) dan PT Salim
Ivomas Pratama Tbk. (Salim Ivomas) diwajibkan untuk mematuhi Prinsip dan
Kriteria RSPO, termasuk beberapa prinsip yang mengatur tentang hak-hak buruh. Berdasarkan
temuan-temuan dalam laporan ini, Lonsum milik Indofood setidaknya melakukan pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip RSPO berikut ini:
REKOMENDASI UNTUK PEMERINTAH DALAM MENGATASI MASALAH SAWIT INDONESIA
Pemilihan Joko Widodo sebagai Presiden Republik
Indonesia yang baru dan penunjukan kabinet baru pada tahun 2014 merupakan
peluang untuk dilakukannya peninjauan terhadap kebijakan nasional yang berlaku.
Sebagaimana ditunjukkan dalam laporan ini, UU Ketenagakerjaan dan penegakannya saat
ini tidak cukup untuk menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak buruh perkebunan
kelapa sawit yang memiliki risiko tersendiri dan lebih tinggi karena kondisi
mereka yang terisolasi secara geografis. Sifat dasar pekerjaan di perkebunan
kelapa sawit sangatlah berbeda dari sektor industri dan oleh sebab itu perlu
diatur melalui serangkaian peraturan yang khusus. Pemerintah Republik Indonesia
harus menetapkan undangundang ketenagakerjaan khusus untuk melindungi buruh perkebunan
kelapa sawit.
Thursday, April 4, 2019
REKOMENDASI UNTUK INDOFOOD DALAM MENGATASI KONFLIK SAWIT INDONESIA
Temuan-temuan dalam investigasi
yang dilakukan di dua perkebunan Indofood ini mengindikasikan kegagalan pendekatan
Indofood dalam memproduksi minyak sawit bertanggung jawab, sehingga
mengakibatkan pelanggaran hak-hak buruh dan praktik-praktik Minyak Sawit yang
Bermasalah lainnya. Untuk menunjukkan komitmennya dalam menghentikan
eksploitasi buruh dan menjunjung tinggi hak-hak buruh, Indofood harus
menyelaraskan kebijakannya terkait ketenagakerjaan dan rencana pelaksanaannya
dengan ketentuan yang tertuang dalam Prinsip-prinsip dan Panduan Pelaksanaan:
Buruh yang Bebas dan Adil dalam Produksi Minyak Sawit (Prinsip Buruh yang
Adil), dan segera melakukan investigasi dan perbaikan terhadap pelanggaran
hak-hak buruh sebagaimana yang diuraikan dalam laporan ini.
Monday, March 11, 2019
ADAPTASI MASYARAKAT ADAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Dampak perubahan iklim terhadap kehidupan telah banyak
dilaporkan. Sebagai contoh di Kalimantan Barat, pada tahun 2006 telah terjadi
krisis pangan di dua desa di Kecamatan Tanjung Lokang. Hal tersebut diduga
terjadi karena produksi pertanian menurun bahkan megalami gagal panen akibat
kemarau panjang. Di laporkan pula bahwa di Kalimantan Barat telah terjadi gagal
panen di pertengahan tahun 2010 akibat cuaca yang selalu berubah-ubah tak
menentu, sehingga produksi beras menurun hingga 70% dari produksi sebelumnya. Akibatnya,
petani lebih berfokus untuk memperbaiki produksi getah pohon karetnya guna menutup
biaya beli beras. Sebagai akibat dari bencana banjir di sejumlah kabupaten di
Provinsi Kalimanta Barat tersebut, ratusan ribu orang kehilangan harta
bendanya—yang berarti angka kemiskinanakan semakin meningkat (http://www.jeratpapua.org/2014/05/13/banjir-dan-perubahaniklim-
di-papua/).
Monday, October 29, 2018
BEST PRACTICES OF PEATLAND MANAGEMENT
BEST PRACTICES OF PEATLAND MANAGEMENT
Indonesia’s peatlands
have been utilized since the end of 19th Century. Prior to 1920, Dayak rural
communities in South Kalimantan have begun to manage shallow peatlands in the
area behind the river bank (back swamp) which they call the lawau and manage it
for rain-fed rice fields (Suwardi et al., 2005). The river area is a fertile
area because it is influenced by sediment runoff from rivers. Basically Dayak people
are very environmentally friendly. In managing the land, they have a rotating
farming system that always maintains a balance with the utilization process following
a natural cycle (Suwardi et al., 2005). They divide the lands into zones
comprising settlement, bushes, harvested paddy field (jurungan), dry paddy
field (pahumaan), plantations, sacred zones, and protected zones (kayuan).
Sacred zones are customary protected zones that should not be cleared for
agricultural land. When the agricultural land has become infertile, they will
move to look for similar land in other places. After being left for 1-7 years the
former fields will become bush and after 7-12 years the bush will become a
forest. They will reopen the former field after 30 years, when it has become a
forest again. This is done continuously and sustainably.
Monday, October 22, 2018
PEATLAND RESTORATION AGENCY: A SMART WAY TO OBTAIN A QUICK WIN
The Jokowi
Administration have seen that improving forest and land governance may take
times. Thus, it needs an acceleration and simultaneous actions to have results
in a relatively short period. In terms of fire prevention strategy, the
Government of Indonesia then established Peatland Restoration Agency (Badan
Restorasi Gambut/BRG) in January 2016, after the big fire incident of 2015. The
Agency is tasked to rehabilitate 2 million hectares by 2019, and the current
program is to carry out 2.49 million hectares restoration, which include 1.1
million ha to be performed by the Government and partners, while 1.39 million
hectares by relevant private companies. This agency focuses on rehabilitating
and restoring heavily degraded peatlands in fire-prone areas. Thus, this agency
supports the grand strategy for peatland management developed by Directorate of
Peatland Degradation Control, Directorate General for Pollutant and
Environmental Degradation Control, Ministry of Environment and Forestry.
Wednesday, October 17, 2018
PEATLAND MANAGEMENT AND SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS)
The ultimate goal of
the sustainable development goals is to end poverty, protect the planet and
ensure prosperity for all. Hence, managing peatlands should also comply with
the goals. However, managing peatlands to provide livelihoods for local
communities as well as to conduct intensive agriculture and forestry may
contradict with the protection of the environment. The options are whether
peatlands should be drained or to be sustainably managed.
Monday, October 15, 2018
MANAGING PEATLANDS, TO COPE WITH CLIMATE CHANGE: INDONESIA’S EXPERIENCES
Indonesia has over 15 million ha of peatlands, which
is over 12% of its forest land spreading across islands of Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi and Papua. This is the largest tropical peat land in the world,
followed by Democratic Republic of Congo, with the peatland area reaches 9
million ha, and the Republic of Congo with the area reaches about 5.5 million
ha (Miles et al., 2017).
Peatland can be defined as soil formed from the
accumulation of organic matters such as the remnants of plant tissue that
lasted for a long time (Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional, 2006).
According to Government Regulation (GR) No. 71 of 2014 that has been amended by
GR No. 57 of 2016 on the Protection and Management of Peat Ecosystem, peatland
is defined as a naturally occurring organic material of plant residues that
decomposes imperfectly and accumulates in swamps. Furthermore, the regulation also
defines peat ecosystem as the order of peatland components that forms an
integrated system affecting one another and forming a balance, stability, and
productivity.
Wednesday, October 10, 2018
INTERNATIONAL COOPERATION FOR MANAGING PEATLAND
As indicated in
the previous section, Indonesia does not only work by itself to mitigate
problems in relation to peat management and peat fires. We also communicate and
collaborate with other countries and international agencies to stop peat
degradation and prevent peat fires. In the Southeast Asia Region, as the ASEAN
member, Indonesia has ratified the ASEAN Agreement on Transboundary Hazard
Pollution (AATHP) through Law No. 26 of 2014 on AATHP Endorsement, dated 14
October 2014. AATHP aims to prevent and control cross-border smoke pollution as
a result of land and/or forest fires particularly in peatlands that must be
implemented through intensive national, regional and international efforts
based on commitment, a spirit of partnership, and a tradition of solidarity to
achieve peace, progress and prosperity among ASEAN countries.
Tuesday, October 2, 2018
INDONESIA’S PEATLAND GOVERNANCE
A huge task. In the
past, Indonesia experienced unsustainable peatland management leading to the
degradation of peatland and peat fires. Thinking over the negative impacts
resulted from peat degradation and fires, the government of Indonesia has
prioritized the protection and sustainable management of peatlands, including
the restoration of heavily degraded peatlands. Presidential Instruction No. 8
of 2015 on the Suspension of New Licenses and the Improvement of Primary Forest
and Peatland Governance or commonly referred to as Inpres Moratorium is a
monumental decision reflecting the commitment of Indonesian government to
reform its peatland and forest management. It has targeted the postponement of
formal licenses for companies. The coverage of peatlands and primary forests
affected by this policy has been mapped and update every six months. This
political will has been supported or followed up by other regulations,
including:
Sunday, September 23, 2018
PEATLAND MANAGEMENT AND NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTION (NDC)
Peatland
is a storage of huge amount of carbon. It is estimated that peat can contain
about 6 tonnes per hectare of 1 cm depth. Overall, Indonesian peatlands stores
about 46 Giga tons, or about 8-14% of the carbon stored in the world peatlands.
It is this carbon content that has become source of problems due to its
emission when burnt, and at the same time also become a potential solution if
well managed, in the context of climate change mitigation and adaptation. In
our First National Determined Contribution submitted to the UNFCCC, 17% or over
half of the 29% of the emission reduction target,
comes from land based sector, which are mainly forest and peatlands.
Tuesday, March 6, 2018
PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT INDONESIA TERKENDALA MASALAH ISU LINGKUNGAN
Meningkatnya produksi kelapa sawit dunia, terutama di Malaysia dan
Indonesia telah mengundang perhatian sejumlah LSM besar, termasuk Greenpeace,
WWF, dan Friends of the Earth. Pada mulanya tentangan utama terhadap kelapa
sawit adalah soal penggundulan hutan, sementara keprihatinan belakangan ini
menyangkut dampak perluasan kebun kelapa sawit pada menyusutnya keragaman
hayati (termasuk habitat orang utan) dan emisi CO2. Klaim utama kampanye
lingkungan yang menentang industri kelapa sawit adalah bahwa penggundulan
hutan, terutama konversi lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit, merupakan
penyebab utama emisi CO2.
Wednesday, May 10, 2017
PERMASALAHAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN YANG SEMAKIN TIDAK TERKENDALI
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan mencapai 1.922.570 km² dan luas perairan mencapai 3.257.483 km². Besarnya luas daratan yang dimiliki Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan sektor pertanian. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), terdapat 95,81 juta Ha lahan pertanian yang terbagi dalam beberapa kategori seperti lahan pertanian kering 70,59 juta Ha, lahan pertanian basah non rawa 5,25 juta hektar dan lahan pertanian basah 19,99 juta hektar.
Subscribe to:
Posts (Atom)