Persistensi
suatu zat kimia di lingkungan bukan hanya salah satu faktor penyumbang masalah pada
toksikologi lingkungan. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya zat kimia
tidak akan memberikan efek yang merugikan bagi organisme jika dia tidak
terabsorpsi dan kontak dengan reseptor kerjanya. Sifat-sifat fisiko-kimia yang
berpengaruh pada proses absorpsi, distribusi dan eliminasi xenobiotika di dalam
tubuh organisme telah juga diuraikan panjang lebar. Salah satu konsekuensi dari
pelepasan dan penyebaran substansi pencemar di lingkungan adalah penangkapan
(uptake) dan penimbunan (accumulation) oleh makhluk hidup mengikuti alur rantai
makanan (food chain). Penangkapan (penyerapan) substansi pencemar sebagian
besar melalui proses difusi pasif, dimana lipofilitas zat kimia memegang peranan
penting pada proses ini. Pengambilan dan “retensi” pencemar oleh makhluk hidup
mengakibatkan peningkatan konsentrasi “penumpukan” yang pada dapat memiliki
pengaruh yang merugikan. Retensi suatu pencemar bergantung pada waktu paruh
biologis substansi pencemar. Jika suatu substansi pencemar memiliki waktu paruh
yang relatif lama, maka mereka akan tertahan atau menunjukkan daya tahan yang
relatif tinggi terhadap penghancuran “degradasi” atau eliminasi oleh organisme
tersebut, penangkapan “uptake” substansi pencemar secara terus menerus akan mengakibatkan
peningkatan konsentrasi substansi pencemar dalam tubuh organisme tersebut.
ADS
loading...
Tuesday, March 26, 2019
Monday, March 25, 2019
KLASIFIKASI PESTISIDA DAN POLA PENGGUNAAN
Bahan kimia pestisida pertama kali diklasifikasikan berdasarkan
fungsi dan penggunaan utamanya, seperti insektisida “pembasmi serangga”,
fungisida “pembasmi jamur”, dan sebagainya. Selanjutnya, berdasarkan klasifikasi
di atas, berbagai senyawa pestisida dikelompokkan berdasarkan hubungan dan
kemiripan dari struktur dan kandungan bahan kimianya.
Insektisida, secara luas terdapat empat kelompok besar
insektisida yaitu: organoklirin, organofosfat, karbamat, dan senyawa sintetik
botani dan derivatnya. Kelompok insektisida organoklorin “hidrokarbon terklorinasi”
yang merupakan racun terhadap susunan syaraf “neorotoksik” yang merangsang sistem
syaraf baik pada serangga maupun pada mamalia, yang menyebabkan tremor dan
kejang-kejang.
Sunday, March 24, 2019
POLUSI UDARA DAN KESEHATAN
Meningkatnya urbanisasi, pertumbuhan penduduk, industrialisasi,
dan penggunaan kendaraan bermotor sebagai faktor penyebab peningkatan pencemaran
udara, namun disamping itu dapat dijamin bahwa setiap individu mendapatkan
udara “14 kilogram” udara bersih yang diperlukan setiap hari untuk bernafas.
Sudah diakui secara luas bahwa polusi udara dapat menimbulkan masalah kesehatan.
Sumber terbesar dari masalah polusi udara yang berbahaya adalah asap rokok. Disamping
itu polusi udara di dalam rumah sering kali lebih buruk dibandingkan dengan
polusi udara.
Saturday, March 23, 2019
SULFUR DIOKSIDA DAN HUJAN ASAM
Secara
alamia gas-gas karbon, sulfur dan nitrogen dilepaskan ke udara dari hasil
penguraian tanaman, hewan, kegiatan gunung berapi, dan erosi oleh angin.
Gas-gas ini diperlukan dalam proses fotosintesis untuk produksi protein, asam nukleat,
dan zat-zat lainnya dalam tanaman dan hewan. Pembakaran bahan bakar fosil
merupakan sumber pelepasan baru gas-gas tersebut ke udara, sehingga terjadi
penambahan sulfur dan nitrogen afmosfer yang cukup berarti. Presipitasi gas-gas
sulfur dan nitrogen memberikan pengaruh toksisitas yang buruk terhadap
ekosistem alamiah, khususnya di daerah Eropa Barat dan Timur.
Friday, March 22, 2019
PENGANTAR TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
Sejak manusia pertama kali berkumpul di desa dan
memanfaatkan api merupakan awal terjadi penurunan kualitas lingkungan oleh
manusia, masalah semakin serius akibat dari dampak pertambahan pupulasi secara
eksponential dan meningkatnya industrialisasi masyarakat. Penurunan kualitas
lingkungan mungkin melalui perubahan-perubahan kimiawi, fisika, dan biologis dalam
lingkungan melalui modifikasi atau perancuan terhadap sifat fisik dan prilaku
biologis udara, air, tanah, makanan, dan limbah, karena dipengaruhi oleh pertanian,
industri dan kegiatan sosial manusia. Secara nyata bahwa kegiatan manusia akan
terus berlanjut memerlukan jumlah bahan bakar yang bertambah, bahan kimia industri,
pupuk, pestisida, dan produk lainnya yang tidak terhitung; serta industri akan
terus berlanjut menghasilkan produk limbah. Limbah gas akan sangat cepat terdistribusi
menuju udara (atmosfer) selanjutnya akan terlarutkan oleh bintik-bintik air dan
terbawa kembali ke bumi bersama hujan.
Thursday, March 21, 2019
EMISSIONS GAP REPORT 2018
The world is at last beginning to tackle its fossil
fuel addiction. Coal is no longer competitive, and wind farms and solar
installations are gathering pace – in Australia, northern Europe, China, India
and elsewhere. Electric mobility and ride sharing are redefining transport, especially
in cities tired of breathing dirty air. Huge strides in energy efficiency are
being made.
The problem, as the science here is telling us, is
that we’re not making the change nearly as quickly as we need to. This is of course
not new – it’s an almost carbon copy of what we were told last year, and the years
before that. But what we do have is yet more compelling science, and something
that adds to that provided by the 1.5 degree report recently released by the Intergovernmental
Panel on Climate Change.
Monday, March 11, 2019
ADAPTASI MASYARAKAT ADAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Dampak perubahan iklim terhadap kehidupan telah banyak
dilaporkan. Sebagai contoh di Kalimantan Barat, pada tahun 2006 telah terjadi
krisis pangan di dua desa di Kecamatan Tanjung Lokang. Hal tersebut diduga
terjadi karena produksi pertanian menurun bahkan megalami gagal panen akibat
kemarau panjang. Di laporkan pula bahwa di Kalimantan Barat telah terjadi gagal
panen di pertengahan tahun 2010 akibat cuaca yang selalu berubah-ubah tak
menentu, sehingga produksi beras menurun hingga 70% dari produksi sebelumnya. Akibatnya,
petani lebih berfokus untuk memperbaiki produksi getah pohon karetnya guna menutup
biaya beli beras. Sebagai akibat dari bencana banjir di sejumlah kabupaten di
Provinsi Kalimanta Barat tersebut, ratusan ribu orang kehilangan harta
bendanya—yang berarti angka kemiskinanakan semakin meningkat (http://www.jeratpapua.org/2014/05/13/banjir-dan-perubahaniklim-
di-papua/).
MENGENAL PESTISIDA
Pestisida sangat banyak digunakan secara global dalam
produksi makanan, serat dan kayu, dalam pengelolaan tanah masyarakat, dan dalam
pengendalian serangga-serangga pembawa penyakit dan hama-hama rumah tangga dan
kebun. Masyarakat belekangan ini semakin tergantung pada penggunaan bahan-bahan
kimia dalam pengendalian serangga yang tidak dikehendaki, gulma, jamur dan
binatang penggangu lainnya. Penggunaan pestisida yang tidak rasional telah
terbukti ikut menimbulkan masalah terhadap ekosistem.
AGRICULTURAL SOLUTIONS TO CLIMATE CHANGE
There
are many strategies that farmers, businesses, and consumers can adopt to reduce
greenhouse gases related to agriculture. First, farmers can replace fossil
fuels such as gasoline and diesel with biofuels such as ethanol or biodiesel.
Ethanol is a fuel alcohol that is produced by a fermentation process that uses
yeast to convert the sugars found in plants into a combustible alcohol fuel.
Ethanol can offset varying amounts of fossil fuel–generated carbon dioxide
depending on the material used to produce the ethanol. For example, Brazil,
located in a tropical climate, can efficiently grow sugarcane. Sugarcane is an
excellent source material for ethanol because the sugars in sugarcane can be easily
converted into alcohol. In the United States, corn is the primary feedstock for
ethanol. It is more costly to convert corn into sugar because the sugars are
bound up in long starch molecules. These carbohydrates must be broken down in
order to free up the sugars to be converted into alcohol. Therefore,
researchers in the United States are working hard to discover ways to lower the
costs of producing corn-based ethanol.
AGRICULTURAL IMPACTS OF CLIMATE CHANGE
Given that crops and livestock thrive in a relatively
narrow set of environmental parameters, it makes sense to explore how climate
change will affect agricultural productivity. Factors considered include the
impacts of rising temperatures, increased production of carbon dioxide and
other greenhouse gases, water supply fluctuations, soil quality variations,
sea-level increases, and the introduction of new pests, diseases, and weeds,
which could hurt agricultural output. These changes can have different impacts
depending on the geographic scale of analysis. Climatic change will have different
manifestations at local, regional, and global scales. Impacts will also vary
according to the agricultural products under consideration. Some plant or animal
species may be very resilient to environmental changes. Others may not adapt so
well to change.
Subscribe to:
Posts (Atom)