Sejak manusia pertama kali berkumpul di desa dan
memanfaatkan api merupakan awal terjadi penurunan kualitas lingkungan oleh
manusia, masalah semakin serius akibat dari dampak pertambahan pupulasi secara
eksponential dan meningkatnya industrialisasi masyarakat. Penurunan kualitas
lingkungan mungkin melalui perubahan-perubahan kimiawi, fisika, dan biologis dalam
lingkungan melalui modifikasi atau perancuan terhadap sifat fisik dan prilaku
biologis udara, air, tanah, makanan, dan limbah, karena dipengaruhi oleh pertanian,
industri dan kegiatan sosial manusia. Secara nyata bahwa kegiatan manusia akan
terus berlanjut memerlukan jumlah bahan bakar yang bertambah, bahan kimia industri,
pupuk, pestisida, dan produk lainnya yang tidak terhitung; serta industri akan
terus berlanjut menghasilkan produk limbah. Limbah gas akan sangat cepat terdistribusi
menuju udara (atmosfer) selanjutnya akan terlarutkan oleh bintik-bintik air dan
terbawa kembali ke bumi bersama hujan.
Sejarah mencatan pada awal revolusi pertanian telah
menggunakan berbagai jenis bahan kimia yang begitu saja dibuang ke lingkungan.
Demikian juga limbah industri yang pada awalnya tanpa melalui pengolahan
dibuang ke lingkungan merupakan penyabab cepatnya menurunnya kualitas lingkungan.
RACHEL CARSON sekitar tahun 1962 menerbitkan buku yang berjudul “Silent Spring“
dalam bukunya menggambarkan secara statistik terjadi peningkatan kematian burung-burung
dan ikan akibat pemakaian pestisida yang berlebih. Sehingga dikemudian hari keadaan
tersebut akan dapat meracuni manusia (HODGSON dan LEVI, 2000). Tulisan Carson membangkitkan
kesadaran manusia akan bahaya “hazards“ bahan kimia di lingkungan. Untuk itu diperlukan
perlindungan terhadap lingkungan, yaitu penetapan batas minimal senyawa berbahaya
yang diijinkan berada di lingkungan. Kesadaran ini melahirkan berbagai
peraturan dan regulasi yang bertujuan terciptanya lingkungan hidup yang sehat
dan aman.
Di Indonesia, penelitian penurunan kualitas lingkungan
yang berdampak pada kesehatan masyarakat telah banyak dilakukan, seperti pada tahun
1996 masyarakat Semarang dibuat gundah, karena publikasi hasil penelitian dosen
perguruan tinggi di kota itu tentang kandungan logam berat (Pb, Cd, Hg, dll)
pada daging ayam broiler (WIDIANARKO, 1997). Cemaran logam berat dalam jaringan
tubuhan dan hewan yang dibudidayakan diakibatkan karena terkontaminannya
lingkungan oleh logam berat. Konsekuensinya, ternak maupun tanaman yang dipelihara
di lingkungan itu akan mengalami penurunan mutu pula, termasuk meningkatnya residu
senyawa-senyawa pencemar.
Penelitian terhadap pengaruh pencemaran lingkungan
pada kualitas dan keamanan pangan bukanlah hal yang baru sama sekali di
Indonesia, karena sudah dimulai dua dekade sebelumnya, seperti hasil penelitian
Lembaga Ekologi Unversitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Wagningen-Belanda
pada tahun 1972 dan juga dengan peneliti Jepang pada tahun 1988, melaporkan
bahwa produk budidaya, seperti ikan, telur, itik, udang, kerang-kerangan dan
beras telah tercemar oleh logam berat (Cd) yang relatif tinggi, selain itu ditemukan
juga akumulasi pestisida hidrokarbon terklorinasi (WIDIANARKO, 1997).
PAGORAY (2001) melaporkan tingginya kandungan b „Cd
dan Hg“ dibantaran Kali Donan kawasan industri Cilacap. Tingginya kandungan logam
berat tersebut diakibatkan pembuangan limbah logam berat sisa proses produksi
belum memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan pemerintah dan masih digunakannya
logam-logam berat dalam proses produksi.
Pencegahan keracunan umumnya memerlukan perhitungan
terhadap toxicity, hazard, risk, dan safety. Hazard suatu zat kimia dapat
diartikan dengan kemungkinan zat kimia tersebut untuk menimbulkan cidera. Dalam
bahasa Indonesia hazard dapat diterjemahkan dengan „bahaya“. Toxicity
„toksisitas“ memiliki pengertian yang berbeda dengan hazard, dimana seperti
yang telah dibahas pada bab pengantar toksikologi, dimana toksisitas merupakan
deskrepsi dan kuantifikasi sifat-sifat toksis suatu xenobiotika. Umumnya
toksisitas merupakan pernyataan relative dengan suatu tokson. Resiko adalah
besarnya kemungkinan suatu tokson yang dimaksud untuk menimbulkan keracunan.
Resiko berkaitan langsung dengan jumlah tokson yang masuk ke sistem sistemik organisme.
Perhitungan safety “keamanan“ suatu xenobiotika merupakan suatu hal yang sulit
dipahami, walaupun pengertiannya sangat sederhana. Hal ini disebabkan dalam perhitungan
penerapan „faktor keamanan“ memerlukan estimasi dari percobaan uji toksikologi
pada hewan percobaan. Pada praktisnya batas nilai keamanan suatu xenobiotika umumnya
dinyatakan seperti dalam „acceptable daily intake, maximal allowable
concentration, tolerance level dan sebagainya.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa toksikologi
secara umum menelaah tentang mekanisme mengenai efek-efek yang tidak diinginkat
„adverse effects“ dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Gabungan
berbagai efek potensial yang merugikan serta terdapatnya berbagai ragam bahan
kimia di lingkungan kita membuat toksikologi sebagai ilmu yang sangat luas.
Toksikologi lingkungan didefinisikan sebagai „study of the fate and effects of
chemicals in the environment” (HODGSON dan LEVI, 2000). Secara sederhana dapat
dimengerti dengan telaah dinamika bahan toksik di lingkungan, yaitu mempelajari
proses degradasi zat kimia „perubahan kimia yang dialami oleh toksikan“ di lingkungan
serta transport zat kimia tersebut dari satu tempat ke tempat lain di alam ini,
disamping itu toksikologi lingkungan adalah pengetahuan yang mempelajari efek
toksik yang timbulkan, dampak atau resiko keberadaan zat kimia tersebut terhadap
makhluk organisem hidup. Toksikologi lingkungan umumnya dapat dikelompokkan ke dalam
dua kelompok kajian, yaitu toksikologi kesehatan lingkungan dan ekotoksikologi.
Toksikologi kesehatan lingkungan adalah melakukan telaah tentang efek samping
zat kimia di lingkungan terhadap kesehatan manusia. Sedangkan ekotoksikologi
memfokuskan diri pada telaah tentang efek pencemaran lingkungan pada ekosistem
dan konstituennya (seperti ikan, dan satua liar).
Masalah-masalah yang menantang toksikolog lingkungan
adalah tugas yang rumit dalam pencirian akibat dari pengaruh terhadap individu ”organisme”
dalam lingkungan dan sebaliknya pengaruh perubahan ekologis yang dialami oleh individu.
Pendekatan terhadap tugas ini didasarkan pada hubungan timbal-balik structural dan
fungsional yang ada diantara masing-masing tingkatan organisasi biologis.
Hubungan ini termasuk juga penentuan hubungan antara pengaruh yang ditunjukkan
oleh organisme pada tingkatan makromolekul atau selular sebagai tanggapan pokok
dari organimse di lingkungan tersebut. Dalam penelitian pengaruh toksikan pada
ekologis diperlukan pengetahuan dasar mengenai mekanisme fase kerja toksikan
pada organimse, termasuk fase eksposisi, toksokinetik dan toksodinamik dari
toksikan pada organimse target. Disamping itu diperlukan juga kemampuan mengevaluasi
hubungan faktor lingkungan yang dapat mengubah tanggapan yang diamati dalam makhluk
hidup.
SUMBER BUKU : KLIK DISINI
SUMBER BUKU : KLIK DISINI
No comments:
Post a Comment