ADS

loading...

Saturday, January 6, 2018

SOLUSI BERCOCOK TANAM DI DAERAH PERKOTAAN

Di tengah minimnya lahan kosong di perkotaan,
berkebun atau cocok tanam bukanlah hal yang
mustahil dilakukan. Ternyata, kegiatan hijau ini
justru memberi ragam manfaat.

Berkebun atau bertani merupakan salah satu aktivitas menyenangkan yang bermanfaat untuk mengisi waktu luang.Umumnya kegiatan ini identik dilakukan di daerah pedesaan. Beda halnya dengan perkotaan, lahan kosong telah disulap menjadi gedung perkantoran dan rumah-rumah penduduk. Belum lagi jika kita tinggal di apartemen. Namun konsep bertani ini ternyata jugamampu diterapkan di perkotaan atau dikenal urban farming.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang berada di bawah naungan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeskripsikan pertanian urban sebagai sebuah industri yang memproduksi, memproses, serta memasarkan produk dan bahan bakar nabati, terutama dalam menanggapi permintaan konsumen di perkotaan. Konsep ini juga termasuk dengan memanfaatkan kembali sumber daya alam dan sampah perkotaan untuk menghasilkan berbagai pangan dan ternak (UNDP, 1996).
Oswar Mungkasa, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (TRLH)memaparkan, beberapa kota besar di dunia tengah menghadapi isu kelangkaan pangan. Hal ini lantaran setiapkegiatan berjalan secara sporadis dantidak dalam satu kerangka. Karenaitu, grand design diperlukan agar pertanian perkotaan ini berjalan berkesinambungan.
Urban farming adalah salah satu prioritas kegiatan oleh gubernur DKI. Ini waktu yang tepat, mengingat akan ada pembentukan RPJMD dan revisi RTRW serta RDTR, sehingga dapat diinternalisasikan dalam setiap kebijakan publik yang ada,” terang Oswar dalam diskusi Pertanian Perkotaan, Unsur Perancangan Perkotaan, sebagai Strategi Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan, di Balai Kota DKI Jakarta, 23 Mei lalu.
 Kendati lahan perkotaan semakin menipis, kegiatan berkebun atau bercocok tanam masih mungkin dilakukan. Diyah Perwitosari dari Marunda Urban Resilience in Action (Muria) menilai, pertanian dapat dilakukan di rumah susun, sempadan sungai, sekolah, gedung perkantoran, dan RPTRA. Menurutnya hal itu tidaklah sulit untuk diterapkan bila ada kebijakan atau pemahaman akan cara bertani yang benar di tengah minimnya lahan.
Hal senada diungkapkan Diah Meidianti, Kepala Bidang Pertanian Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Jakarta. Dia mencontohkan program gang hijau yang telah dilakukan tahun lalu. Dalam realisasinya, sudah ada 150 gang hijau. “Targetnya, akan dilaksanakan di 75 gang,” sebut Diah. “Program ini bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, meningkatkan kualitas lingkungan, dan memberdayakan masyarakat,” sambungnya lagi.
Ada ragam cara bertani yang dapat diterapkan di perkotaan. Priscilla Epifania dan Yusuf Ardian dari Jelajah Jejak Indonesia menyebutkan metode tanam yang bisa digunakan dalam bertani di perkotaan antara lain, hidroponik, akuaponik, dan vertikultur. Hidroponik adalah budidaya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam. Biasanya menggunakan media tanam seperti sekam padi, kulit pinus, rock wool, sabut kelapa, kristal air, dan bahan lainnya.
Berdasarkan media tumbuh yang digunakan, hidroponik dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kultur air,kultur agregat, dan Nutrient Film Technique (NFT). Ketiganya merupakan teknik yang lazim digunakan. Meskipun ada hidroponik lainnya yang juga berkembang yaitu aeroponik.
Sistem kultur air dilakukan dengan menggunakan media tertentutanpa penyiraman air. Bagian dasarnya terdapat larutan hara sehingga ujung akar tanaman akan menyentuh larutan yang mengandung nutrisi tersebut. Beda halnya dengan kultur agregat yang menggunakan media tanam berupa kerikil, pasir, arang sekam pasi, dan lain-lain. Pemberian hara (nutrisi) dilakukan dengan cara mengairi media tanam. Sementara, Nutrient Film Technique (NFT) yaitu cara menanam tanaman dalam selokan panjang yang sempit dan dialiri air yang mengandung larutan hara sehingga terbentuk flm (lapisan tipis) sebagai makanan tanaman.
Metode bercocok tanam lainnya yaitu akuaponik, yaitu sistem produksi pangan khususnya sayuran yang diintegrasikan dengan budidaya hewan air (ikan, udang, siput) di dalam suatu lingkungan. Sementara, teknik budidaya secara vertikal atau disebut sistem vertikultur, umumnya digunakan untuk menyiasati keterbatasan lahan, terutama dalam rumah tangga. Metode ini sangat sesuai untuk bertanam sayuran.
Manfaat Urban Farming
Pertanian perkotaan memiliki peran penting. Misalnya memberi kontribusi keamanan pangan dan nutrisi. Saat ini di Jawa, hanya 18 persen kebutuhan warga dapat dipenuhi oleh kebun rumah. Artinya, ini memberi manfaat bagi kebutuhan pangan bagi warga perkotaan. Selain itu, konsep ini bisa mendorong tumbuhnya peternakan sehingga ikut membantu dari sisi ekonomi dan pemenuhan pangan. “Jadi, urban farmer mendapatkan multiplier dari hasil penjualan dan pengonsumsian,” terang Heru Wibowo Poerbo dari Alumni Rancang Kota ITB (ARKI).
Tak hanya itu, pertanian perkotaan juga dianggap memberi kontibusi positif lainnya. Peran ekologi, urban farming dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kota hijau. Salah satunya dengan memproses limbah perkotaan yang diubah menjadi kompos untuk pertanian dan meningkatkan kualitas udara perkotaan.
Heru menilai keberhasilan itu juga ditentukan dari seberapa besar peran pemerintah setempat. Ia mencontohkan di Eropa, pihak Pemda setempat memberi subsidi kepada urban farmeruntuk mengelola lahan pertanian yang diperuntukkan sebagai green belt sehingga pembangunan kota tidak merambah kemana-mana.
Di sisi lain, urban farming juga membuka kontribusi sosial. Para disabilitas,masyarakat miskin juga dapat terlibat dalam pengembangan kota sehingga mendapatkan pekerjaan. Selain itu, konsep pertanian kota juga memberikan nilai pendidikan, yakni mengenalkan kepada generasi muda tentang jenis dan fungsi tanaman.
Hanya saja, pelaksanaannya tidaklah mudah. Diyah Perwitosari menilai belum adanya payung hukum, luas lahan, kesulitan modal, permasalahan produk karena sedang meraba dalam melihat pasar, peningkatan kapasitas, kerja sama multi pihak untuk menjalin kerja sama yang terintegrasi, dan tidak adanya skema pengelolaan.
Iparman Usman (Green Building Concul International) menilai gagasan ini harusnya bisa diselaraskan dengan program prioritas lima tahun daerah. RTH contohnya, harusnya bisa dimanfaatkan untuk urban farming, dimanfaatkan untuk tumbuhan yang produktif. “Sebetulnya, Ibukota punya potensi lahan dari rencana RTH,” pungkasnya.


SUMBER : MAJALAH KIPRAH Vol 80 Tahun XVII Juli 2017

No comments:

Post a Comment