Berkebun atau bertani
merupakan salah satu aktivitas menyenangkan yang bermanfaat untuk mengisi waktu
luang.Umumnya kegiatan ini identik dilakukan di daerah pedesaan. Beda halnya dengan
perkotaan, lahan kosong telah disulap menjadi gedung perkantoran dan rumah-rumah
penduduk. Belum lagi jika kita tinggal di apartemen. Namun konsep bertani ini
ternyata jugamampu diterapkan di perkotaan atau dikenal urban farming.
Organisasi
Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang berada di bawah naungan Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendeskripsikan pertanian urban sebagai sebuah industri
yang memproduksi, memproses, serta memasarkan produk dan bahan bakar nabati,
terutama dalam menanggapi permintaan konsumen di perkotaan. Konsep ini juga
termasuk dengan memanfaatkan kembali sumber daya alam dan sampah perkotaan untuk
menghasilkan berbagai pangan dan ternak (UNDP, 1996).
Oswar
Mungkasa, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
(TRLH)memaparkan, beberapa kota besar di dunia tengah menghadapi isu kelangkaan
pangan. Hal ini lantaran setiapkegiatan berjalan secara sporadis dantidak dalam
satu kerangka. Karenaitu, grand design
diperlukan agar pertanian perkotaan ini berjalan berkesinambungan.
“Urban
farming adalah salah satu prioritas kegiatan oleh gubernur DKI. Ini waktu
yang tepat, mengingat akan ada pembentukan RPJMD dan revisi RTRW serta RDTR,
sehingga dapat diinternalisasikan dalam setiap kebijakan publik yang ada,”
terang Oswar dalam diskusi Pertanian Perkotaan, Unsur Perancangan Perkotaan,
sebagai Strategi Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan, di Balai Kota DKI
Jakarta, 23 Mei lalu.
Kendati lahan perkotaan semakin menipis,
kegiatan berkebun atau bercocok tanam masih mungkin dilakukan. Diyah
Perwitosari dari Marunda Urban Resilience
in Action (Muria) menilai, pertanian dapat dilakukan di rumah susun,
sempadan sungai, sekolah, gedung perkantoran, dan RPTRA. Menurutnya hal itu
tidaklah sulit untuk diterapkan bila ada kebijakan atau pemahaman akan cara
bertani yang benar di tengah minimnya lahan.
Hal
senada diungkapkan Diah Meidianti, Kepala Bidang Pertanian Dinas Ketahanan
Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Jakarta. Dia mencontohkan program gang
hijau yang telah dilakukan tahun lalu. Dalam realisasinya, sudah ada 150 gang
hijau. “Targetnya, akan dilaksanakan di
75 gang,” sebut Diah. “Program ini bertujuan untuk membantu memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat, meningkatkan kualitas lingkungan, dan
memberdayakan masyarakat,” sambungnya lagi.
Ada
ragam cara bertani yang dapat diterapkan di perkotaan. Priscilla Epifania dan
Yusuf Ardian dari Jelajah Jejak Indonesia menyebutkan metode tanam yang bisa
digunakan dalam bertani di perkotaan antara lain, hidroponik, akuaponik, dan
vertikultur. Hidroponik adalah budidaya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa
menggunakan tanah sebagai media tanam. Biasanya menggunakan media tanam seperti
sekam padi, kulit pinus, rock wool, sabut kelapa, kristal air, dan bahan
lainnya.
Berdasarkan
media tumbuh yang digunakan, hidroponik dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu
kultur air,kultur agregat, dan Nutrient
Film Technique (NFT). Ketiganya merupakan teknik yang lazim digunakan.
Meskipun ada hidroponik lainnya yang juga berkembang yaitu aeroponik.
Sistem
kultur air dilakukan dengan menggunakan media tertentutanpa penyiraman air.
Bagian dasarnya terdapat larutan hara sehingga ujung akar tanaman akan
menyentuh larutan yang mengandung nutrisi tersebut. Beda halnya dengan kultur
agregat yang menggunakan media tanam berupa kerikil, pasir, arang sekam pasi,
dan lain-lain. Pemberian hara (nutrisi) dilakukan dengan cara mengairi media
tanam. Sementara, Nutrient Film Technique
(NFT) yaitu cara menanam tanaman dalam selokan panjang yang sempit dan dialiri
air yang mengandung larutan hara sehingga terbentuk flm (lapisan tipis) sebagai
makanan tanaman.
Metode
bercocok tanam lainnya yaitu akuaponik, yaitu sistem produksi pangan khususnya
sayuran yang diintegrasikan dengan budidaya hewan air (ikan, udang, siput) di
dalam suatu lingkungan. Sementara, teknik budidaya secara vertikal atau disebut
sistem vertikultur, umumnya digunakan untuk menyiasati keterbatasan lahan,
terutama dalam rumah tangga. Metode ini sangat sesuai untuk bertanam sayuran.
Manfaat Urban
Farming
Pertanian
perkotaan memiliki peran penting. Misalnya memberi kontribusi keamanan pangan
dan nutrisi. Saat ini di Jawa, hanya 18 persen kebutuhan warga dapat dipenuhi
oleh kebun rumah. Artinya, ini memberi manfaat bagi kebutuhan pangan bagi warga
perkotaan. Selain itu, konsep ini bisa mendorong tumbuhnya peternakan sehingga
ikut membantu dari sisi ekonomi dan pemenuhan pangan. “Jadi, urban farmer mendapatkan multiplier dari
hasil penjualan dan pengonsumsian,” terang Heru Wibowo Poerbo dari Alumni
Rancang Kota ITB (ARKI).
Tak
hanya itu, pertanian perkotaan juga dianggap memberi kontibusi positif lainnya.
Peran ekologi, urban farming dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kota hijau.
Salah satunya dengan memproses limbah perkotaan yang diubah menjadi kompos
untuk pertanian dan meningkatkan kualitas udara perkotaan.
Heru
menilai keberhasilan itu juga ditentukan dari seberapa besar peran pemerintah
setempat. Ia mencontohkan di Eropa, pihak Pemda setempat memberi subsidi kepada
urban farmeruntuk mengelola lahan
pertanian yang diperuntukkan sebagai green
belt sehingga pembangunan kota tidak merambah kemana-mana.
Di sisi
lain, urban farming juga membuka
kontribusi sosial. Para disabilitas,masyarakat miskin juga dapat terlibat dalam
pengembangan kota sehingga mendapatkan pekerjaan. Selain itu, konsep pertanian
kota juga memberikan nilai pendidikan, yakni mengenalkan kepada generasi muda
tentang jenis dan fungsi tanaman.
Hanya
saja, pelaksanaannya tidaklah mudah. Diyah Perwitosari menilai belum adanya
payung hukum, luas lahan, kesulitan modal, permasalahan produk karena sedang
meraba dalam melihat pasar, peningkatan kapasitas, kerja sama multi pihak untuk
menjalin kerja sama yang terintegrasi, dan tidak adanya skema pengelolaan.
Iparman
Usman (Green Building Concul
International) menilai gagasan ini harusnya bisa diselaraskan dengan program
prioritas lima tahun daerah. RTH contohnya, harusnya bisa dimanfaatkan untuk urban farming, dimanfaatkan untuk
tumbuhan yang produktif. “Sebetulnya, Ibukota punya potensi lahan dari rencana
RTH,” pungkasnya.
SUMBER : MAJALAH KIPRAH Vol
80 Tahun XVII Juli 2017
No comments:
Post a Comment