Pengerusakan hutan hujan, perampasan tanah rakyat dan masyarakat adat,
juga emisi Gas Rumah Kaca (GRK) besarbesaran akibat pengeringan dan pembakaran
lahan gambut demi diproduksinya Conflict
Palm Oil (Minyak Sawit yang Bermasalah), terus menjadi sorotan utama dunia
internasional dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, kondisi kerja dan
kehidupan buruh perkebunan kelapa sawit hampir tidak pernah dikaji atau pun
didiskusikan secara mendalam.
Karena buruh tinggal di daerah yang terisolir secara geografis dengan
mobilitas sosial maupun ekonomi yang sangat terbatas, kisah mereka terkubur di
dalam perkebunan kelapa sawit yang terletak di wilayah terpencil di mana mereka
hidup dan bekerja. Akan tetapi, belakangan ini semakin banyak laporan dari
masyarakat sipil, peneliti independen dan wartawan investigasi yang menguak
tabir persoalan yang dihadapi buruh kelapa sawit. Laporan-laporan tersebut
menyoroti pola pelanggaran hak-hak buruh yang berat di perkebunan kelapa sawit
di berbagai belahan dunia.
Minyak Sawit yang Bermasalah adalah minyak sawit yang diproduksi secara
illegal atau berkaitan dengan pelanggaran hak buruh atau hak asasi manusia,
pengrusakan hutan hujan secara terus menerus, maupun ekspansi di lahan gambut
yang kaya karbon. Sejumlah masalah yang timbul sehubungan dengan Minyak Sawit
yang Bermasalah mendorong banyak perusahaan dalam rantai pasok minyak sawit
untuk mengadopsi kebijakan minyak sawit yang bertanggung jawab. Kebijakan ini
berisi komitmen perusahaan untuk memproduksi dan menyuplai minyak sawit yang
tidak berkaitan dengan pelanggaran hak-hak buruh, deforestasi, ekspansi di
lahan gambut yang kaya karbon, maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
PepsiCo, sebagai perusahaan makanan ringan dengan distribusi terluas di seluruh
dunia dan pembeli minyak sawit utama, merupakan salah satu perusahaan yang
barubaru ini mengadopsi kebijakan tersebut.
Setelah mendapat banyak tekanan dari konsumen dan masyarakat sipil, pada
bulan September 2015 PepsiCo mengadopsi revisi kebijakan minyak sawit yang
menjabarkan praktik-praktik produksi minyak sawit bertanggung jawab bagi para
pemasoknya. Khususnya terkait persoalan hak buruh, dinyatakan bahwa pemasok
minyak sawit PepsiCo wajib, “Berpegang teguh pada Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, mematuhi hukum yang berlaku, melarang praktik kerja paksa, kerja wajib
atau penggunaan buruh anak, mengikuti praktik rekrutmen yang etis, menghormati
kebebasan berserikat, [dan] mengakui hak semua buruh termasuk buruh temporer,
buruh migran dan buruk kontrak”.
Meskipun kebijakan tersebut menekankan penghormatan terhadap hak-hak
buruh dan perlindungan terhadap hutan juga lahan gambut Ber-Stok Karbon Tinggi
(SKT), sayangnya kebijakan PepsiCo tersebut masih memiliki celah, yaitu tidak
mengharuskan joint venture partner-nya (Mitra Bisnis), Indofood – salah satu
perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia, perusahaan makanan
terbesar di Indonesia, dan produsen tunggal produk PepsiCo di Indonesia – untuk
mengikuti persyaratan yang sama dalam penggunaan minyak kelapa sawit pada
pembuatan produkproduk PepsiCo.
Kelalaian ini berarti minyak sawit yang diproduksi dan disuplai oleh
Indofood untuk membuat produk PepsiCo di Indonesia tidak diharuskan untuk
mematuhi standar perlindungan terhadap lingkungan dan sosial yang sama seperti
produk yang diproduksi langsung oleh PepsiCo. Untuk memahami dampak dari
pengecualian ini terhadap buruh kelapa sawit, sebuah tim melakukan investigasi
tentang kondisi kehidupan dan kerja buruh di 2 (dua) perkebunan kelapa sawit
yang dimiliki dan dikelola oleh mitra bisnis PepsiCo yaitu Indofood, di bawah
anak perusahaan perkebunannya PT PP London Sumatra Tbk (Lonsum), yang berlokasi
di pulau Sumatera, Indonesia.
No comments:
Post a Comment