Merupakan suatu keniscayaan bahwa kebutuhanakan listrik di Indonesia khususnya
di Bali semakin hari semakin berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang seiring dengan pesatnya pembangunan
di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun pada kenyataannya di
lapangan, penyediaan akan energi listrik yang dilakukanoleh PT. PLN (Persero),
selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah
kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat akan energi listrik secara maksimal.
Masih seringnya terjadi pemadaman listrik di Bali merupakan pertanda
bahwa pasokan listrik dalam sistem interkoneksi sudah tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhan listrik masyarakat dan industri pariwisatayang terus meningkat dan
diperparah dengan gangguan dan penurunan produksi listrik dari beberapa
pembangkit listrik besar sepanjang 2007 sampai sekarang. Ditambah lagi dengan
harga BBM yang melonjak, maka upaya lebih menggiatkan penggunaan energi
alternatif non-BBM di Indonesia di sektor pembangkitan listrik tidak dapat
ditawar-tawar lagi, agar masyarakat tidak terancam ketahanan ekonomi dan
keamanannya.
Selama ini, kebutuhan listrik masyarakat Bali dipasok dari tiga sumber
utama yaitu kabel bawah laut Jawa-Bali, PLTU Gilimanuk dan PLTG Denpasar. Daya
total ketiga sumber itu adalah 440 MW, sementara kebutuhan listrik di Bali
rata-rata 380 MW. Jika terjadi gangguan pada salah satu dari ketiga pembangkit,
dipastikan Bali akan mengalami masalah dengan listrik. Jika tidak gelap total,
mungkin pemadaman secara bergilir.
Permasalahan kebutuhan listrik ini terjadi di Pulau Bali yang selama ini,
kebutuhan listriknya dipasok dari tiga sumber utama yaitu kabel bawah laut
Jawa-Bali, PLTU Gilimanuk dan PLTG Denpasar. Daya total ketiga sumber itu
adalah 440 MW, sementara kebutuhan listrik di Bali rata-rata 380 MW. Jika
terjadi gangguan pada salah satu dari ketiga pembangkit, dipastikan Bali akan
mengalami masalah dengan listrik. Jika tidak ingin terjadi gelap total, maka
solusinya mungkin diadakan pemadaman secara bergilir. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk membuat pasokan listrik di Bali stabil adalah dengan
membangun pembangkit listrik tambahan yang diantaranya sudah dilakukan adalah
pembangunan PLTU Celukan Bawang. Pembangunan PLTU Celukan Bawang, kini tengah
memasuki tahap II. Daya listrik yang dihasilkan PLTU tersebut akan ditambah
dari 1 x 380 Megawatt (MW) menjadi 2 x 330 MW.
Permasalahannya sekarang, pembangunan PLTU di Celukan Bawang membuat sejumlah
warga di daerah ini mulai merasa resah meskipun ada iming-iming Celukan Bawang
akan terang benderang menjadi kota penuh lampu. Menurut salah seorang warga
yang terdampak mengungkapkan bahwa sejak dulu memang tidak ada sosialisasi
kepada masyarakat yang terdampak secara langsung dari adanya PLTU Celukan
Bawang. Menurut dia, warga yang berada dalam radius 200 meter dari kawasan PLTU
Celukan Bawang kerap menghirup udara kotor penuh polusi hasil pembakaran batu bara.
Tahun 2005, ada sosialisasi pembebasan lahan, tapi tidak menyebutkan
PLTU. Dulu kalau tidak salah pembangunan pabrik kecap. Baru pada 2007 keluar
izin pembebasan lahan, setelah itu ada sosialisasi PLTU. Bilangnya nanti jadi
kota penuh lampu, padahal yang ada penuh debu,” ujar Wijana dalam Diskusi
Publik Dampak PLTU Batu Bara Celukan Bawang di Bali. Berdasarkan keterangannya,
masyarakat tidak tahu di lokasi tersebut akan dibangun PLTU.
Dewa Putu Adnyana, Direktur LBH Bali, menyampaikan bahwa sejak awal dia
menduga bahwa pembangunan PLTU Celukan Bawang prosesnya tidak sesuai dan
mengakomodir instrumen kelayakan. Pada tanggal 24 Januari 2018 yang lalu, pihak
LBH Bali telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha di Denpasar.
Adnyana menambahkan berdasarkan Pasal 53 ayat 1 Undang Undang Nomor 9
Tahun 2004, masyarakat merasa kepentingannya dirugikan. Dalam hal ini dirugikan
hak konstitusinya untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan mata pencariannya
terganggu.
“Nelayan misalnya, karena adanya PLTU ini, mereka harus mencari ikan
lebih jauh dan hanya mendapatkan 5 kg. Per kg ikan tersebut seharga Rp 25 ribu,
sementara biaya operasional menjangkau perairan untuk mendapatkan ikan adalah
Rp 200 ribu. Mereka rugi Rp 75 ribu,” ujarnya.
Muncul dugaan proyek itu melanggar regulasi Undang Undang Nomor 1 Tahun
2014, yaitu pembangunan tidak pada rencana zonasi dan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Juga regulasi
internasioal yakni Undang Undang Nomor 3 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Framework Convention on
Climate Change.
Didit Haryono dari Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa dampak dari
batu bara adalah sebaran pm 2,5, benda yang ukurannya sangat kecil dan tidak
mudah disaring dan presisten, bahkan bisa menembus masker. Zat ini mudah sekali
berdampak khususnya pada anak-anak dan lansia. Jika sehelai rambut berukuran 10
mikrometer, maka pm 2,5 jauh lebih kecil, yakni 2,5 mikrometer.
PLTU Batubara melepaskan gas-gas polutan ke udara yang menyebabkan
terjadinya hujan asam yang dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman.
Pengaruhnya antara lain adalah timbulnya bintik-bintik pada permukaan daun.
Jika konsentrasi pencemar cukup tinggi, akan terjadi nekrosis atau kerusakan
pada jaringan daun, sehingga daun tidak dapat berfungsi sempurna menjalankan
proses fotosintesa dan memproduksi karbohidrat, yang berakibat lebih lanjut
pada kerusakan hutan dan pengikisan lapisan tanah yang subur. Hal ini merupakan
awal terjadinya ketandusan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung alam
terhadap kelangsungan hidup manusia. Asam dalam air hujan menambah kemampuan
air itu untuk melarutkan dan membawa lebih banyak logamlogam berat keluar dari
tanah, seperti merkuri (Hg) dan aluminium (Al). Ini berarti bahwa pada saat
hujan asam mencapai sungai atau danau, air hujan itu membawa lebih banyak
pemcemar berbahaya. Air asam ini juga dapat melarutkan tembaga (Cu) dan timbal
(Pb) dari pipa-pipa logam untuk penyaluran air, yang dapat mengganggu sistim
penyediaan air untuk konsumsi manusia.
Indonesia saat ini berada di posisi pertama sebagai negara pengekspor
batu bara. Dengan stok batu bara yang cukup besar, pemerintah juga berencana
membangun 117 PLTU di Indonesia, terutama berpusat di Jawa dan Bali. Padahal
dia mengklaim negara-negara seperti China dan India yang dulu sempat
menggunakan batu bara sebagai media produksi listrik sudah mulai meninggalkan
karena merusak lingkungan.
No comments:
Post a Comment